oleh Diyah Puspitarini*
Perdebatan tentang siapa Ibu Fatmawati, apakah kader Nasyiatul Aisyiyah atau karena kebetulan putri dari Tuan Hasan Din yang saat itu menjabat sebagai Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Bengkulu masih menjadi pertanyaan yang simpang siur. Beberapa literatur dan informasi saya kumpulkan dan sampai pada bulan Februari 2019 yang lalu bersamaan dengan momentum Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu saya sempatkan untuk mengunjungi rumah beliau di Bengkulu Kota yang masih kokoh berdiri. Rumah tersebut sudah tidak dihuni, namun beberapa kenangan masih lekat menggambarkan siapa Ibu Fatmawati.
Sedikit saya berdialog dengan yang menjaga rumah tersebut menanyakan tentang bagaimana Ibu Fatmawati. Bapak penjaga yang sudah berusia lanjut tersebut membenarkan bahwa Ibu Fatmawati ketika masih muda usia belasan tahun aktif di kegiatan Muhammadiyah khusus remaja putri, beliau memang tidak menyebutkan Nasyiatul Aisyiyah, namun identifikasi organisasi remaja putri Muhammadiyah sudah pasti Nasyiatul Aisyiyah. Keaktifan beliau di perkumpulan tersebut membukakan wacana dan ketrampilan Ibu Fatmawati, sehingga dibandingkan dengan sesama gadis diusia beliau, Ibu Fatmawati terlihat sangat menonjol kecerdasan, kecekatan, selain beliau juga memiliki kecantikan yang tidak hanya dari luar saja, namun juga dari dalam dirinya.
Dari penjelasan di atas, memantapkan pemahaman dan kesimpulan saya tentang latar belakang Ibu Fatmawati. Namun tidak cukup disitu, tentunya saya semakin tertarik untuk diskusi dengan beberapa penulis sejarah di Muhammadiyah yang barangkali memiliki data yang lebih akurat.
Beberapa sumber saya dapatkan, termasuk ketika saya sempat berdiskusi dengan Mas Mu’arif, salah satu penulis sejarah Muhammadiyah yang masih muda. Mu’arif menuliskan keterangan yang lebih rinci dalam tulisan yang berjudul:“Fatmawati: Ibu Negara Kader Nasyiatul Aisyiyah” (https://ibtimes.id/fatmawati-ibu-negara-kader-nasyiatul-aisyiyah/).
Fatmawati lahir pada hari Senin tanggal 5 Februari 1923 pukul 12.00 di sebuah rumah yang terletak di Pasar Marlo kota Bengkulu, Fatmawati adalah putri semata wayang dari Hasan Din dan Siti Chadijah (Fatmawati, 2016: 1-4).Ia tumbuh dan berkembang dalam keluarga dan lingkungan aktivis Muhammadiyah Bengkulu. Sang ayah sebagai Konsul Muhammadiyah, sedangkan sang ibu aktivis Aisyiyah.
Proses habituasi di lingkungan keluarga dan masyarakat membentuk watak dan karakter Fatmawati sejak kecil hingga memasuki usia remaja. Masa pendidikannya sebelum di Holland Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah Kebon Ros, ia sempat mengenyam pendidikan di HIS Peramuan.
Meskipun berkali-kali pindah tempat, Fatmawati selalu melibatkan diri dalam organisasi Muhammadiyah, terutama lewat Nasyi’atul Aisyiyah (Kebon Ros, Curup, dan Kota Bengkulu).
Fatmawati senantiasa berpartisipasi dalam berbagai pertemuan dan konferensi yang digelar Muhammadiyah setempat, terutama untuk mewakili Nasyiatu Aisyiyah. Ia terinspirasi dari semangat dan perjuangan para aktivis ‘Aisyiyah, sehingga ia memutuskan untuk terjun dalam kepengurusan Nasyiatul Aisyiyah. Dalam catatan hariannya ia menulis: “…berkat kemajuan yang dibawa oleh Muhammadiyah, aku ikut dalam kegiatan masyarakat, seperti yang dirindukan oleh RA Kartini bagi kaumnya,” tulisnya (lihat Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno, 2016, hlm. 18).
Sejalan dengan tulisan Mu’arif, Roni Tobroni, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah menuliskan bahwa Ibu Fatmawati merupakan aktivis Nasyiatul Aisyiyah di Bengkulu.
Fatmawati aktif di Nasyiatul Aisyiyah sejak remaja walaupun tidak menjadi ketua, namun Nasyiatul Aisyiyah begitu berpengaruh pada jiwa, sikap, dan perilaku Fatmawati(http://rejang.muhammadiyah.or.id/en/artikel-ada-darah-nasyiatul-aisyiyah-di-bendera-merah-putih-detail-1098.html). Dalam keterangannya dijelaskan pula bahwa setelah menikah, Fatmawati tetap seorang kader Nasyiatul Aisyiyah, organisasi keputrian Muhammadiyah yang sangat mewarnai jiwanya. Ketika menjadi ibu negara, Fatmawati bahkan tidak pernah aktif di organisasi lainnya. Kecintaannya terhadap Nasyiatul Aisyiyah membuat Fatmawati begitu lekat dengan berbagai ajaran, prinsip dan tradisinya. Keriang-gembiraan dan keikhlasannya dalam beramal membuat Fatmawati menjadi pendamping Soekarno yang mengambil peran penting juga disaat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Jauh dari riuh pergulatan politik, Fatmawati mengambil posisi strategis dalam kemerdekaan Indonesia dengan menjahit dua lembar kain merah putih yang menjadi bendera pusaka. Kegembiraan Fatmawati dalam menjahit bendera diiringi lantunan lagu yang berjudul “Nasyiah Ku Sayang”, dimana lagu ini mencerminkan kegembiraan, keikhlasan, kepasrahan, dan perjuangan.
(Lirik Lagu)
NASYIAH KU SAYANG
Aisyiyah perkumpulanku
Pangkal meningkat tangga bahagia
NA ialam taman didik ku
Tempat mencapai pengetahuan raya
Mengajar santun mendidik budi
Berdasar agama Islam suci
Ya Nasyiah Nasyiah Nasyiah yang sangat ku cinta
Sedari kecil hingga besarku
Membimbing ke tempat bahagia ku
Kuangkat tangan dengan doa ku
Kepada Allah aku meminta
Mohon suburnya lanjut usia
Sedikit tambahan catatan dari saya, bahwa memang benar Fatmawati adalah kader Nasyiatul Aisyiyah, namun perlu diketahui bahwa sejak Nasyiatul Aisyiyah berdiri tahun 1931 hingga tahun 1965 Nasyiatul Aisyiyah masih menjadi bagian dari ‘Aisyiyah, hanya saja Nasyiatul Aisyiyah memiliki gerak untuk remaja putri dan anak-anak. Pada kongres Muhammadiyah ke 37 di Bandung, Nasyiatul Aisyiyah resmi menjadi organisasi otonom Muhammadiyah.
*) Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul Aisyiyah